Majelis hakim Mahkamah Agung memutuskan penunjukan kawasan hutan di
Sumatera Utara seluas 3.742.120 hektar melanggar Undang-Undang
Kehutanan. Gugatan soal SK Menteri Kehutanan Nomor 44/Menhut-II/2005
dilayangkan Mangindar Simbolon, Bupati Samosir; Torang Lumban Tobing,
kala itu Bupati Tapanuli Utara—kini sudah habis masa jabatan– dan
Sintong Maruap Tampubolon, ketua Forum Peduli Bona Pasogit.
Sintong Maruap Tampubolon, mengatakan, sudah menerima salinan putusan
gugatan uji materi yang memenangkan mereka. Dari salinan putusan
tertanggal 2 Mei 2014, majelis hakim agung dipimpin Paulus Effendi
Lotulung, menyatakan, SK Menhut mengenai penunjukan kawasan hutan Sumut
sekitar 3.742.120 hektar, bertentangan dengan UU dan/atau peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi.
Dalam amar putusan MA, menyebutkan, SK Menhut ini, dianggap melanggar
UU 19 Tahun 2004 Jo. UU 41 1999 tentang Kehutanan. Ia juga melanggar
Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2004, tentang Perencanaan Kehutanan.
SK Mehut juga melanggar UU 26 Tahun 2007 tentang Tata Ruang, PP Nomor
26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang. Juga UU Nomor 5 Tahun 1960
tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, dan UU Nomor 32 Tahun 2004
tentang Pemerintah Daerah.
Majelis hakim memerintahkan Menhut mencabut SK itu. “Menhut diminta
membuat surat keputusan baru, yang memperhatikan RTRW kabupaten/kota,
sebagai akibat pemekaran beberapa Kabupaten di Sumut.”
Mangindar Simbolon mengatakan, salah satu alasan mereka menggugat SK
Menhut karena aturan itu dianggap tidak memperhatikan RTRW
kabupaten/kota di Sumut, khusus daerah-daerah pemekaran.
Dalam SK Menhut itu, ada poin peraturan daerah tentang RTRW,
tercantum peraturan daerah Sumut Nomor 7 Tahun 2003 mengenai RTRW Sumut
2003–2018.
“Namun pemekaran kabupaten baru belum termasuk. Perda Sumut dibuat 28 Agustus 2003,” ucap Simbolon.
Dia mencontohkan, kekeliruan SK Menhut itu, antara lain soal pemekaran dan pembuatan RTRW kabupaten baru. Ada beberapa kabupaten baru, seperti Humbang Hasundutan (Humbahas).
Dalam SK Menhut butir yang menyebutkan soal RTRW, dianggap suatu hal
mustahil. Sebab, Humbahas dimekarkan dari Kabupaten Tapanuli Utara
(Taput) pada 27 Juli 2003. Belum lagi Kabupaten Samosir, dimekarkan pada
18 Desember 2003.
“Ada banyak daerah baru lain, yakni Kabupaten Nias Selatan dan Pakpak Barat. Atas dasar itulah kami gugat SK Menhut ini.”
Putusan MA Dimanfaatkan Mafia Hutan?
Pasca putusan MA ini diduga dimanfaatkan para mafia hutan.
Dengan menggunakan warga desa, para penjahat-penjahat kehutanan
memberikan uang untuk membuka lahan bahkan di kawasan hutan lindung. Ini
terkuak ketika terjadi kebakaran hutan di pegunungan, Kecamatan
Baktiraja, Humbahas, awal Juni 2014.
Sejumlah saksi mata kepada Mongabay menyebutkan, kebakaran
hutan terjadi karena banyak warga membuka hutan lindung. Mereka bukan
penggarap lahan, tetapi warga yang diberi upah oleh tiga oknum pengusaha
kehutanan. Mereka membuka lahan untuk sawit dan ekaliptus.
“Ketika kami melarang mereka, ada mandor datang dan mengatakan jika
MA sudah memenangkan gugatan. Itukan salah arti. Mereka memanfaatkan
putusan itu merusak hutan. Hutan lindung loh. Itu hutan negara.
Ini harus disikapi serius. Banyak bandit perusak hutan mengincar hutan,”
kata Dame Purba, Aliansi Pemuda Adat Humbahas.
Dia menyebutkan, kebakaran hutan bermula dari jembatan Simangira,
Pegunungan Aek Sipangolu dan Binanga Rihit yang berbatasan dengan
Kecamatan Muara, Tapanuli Utara.
Houtman Sinaga, mantan Camat Baktiraja, Humbahas, membenarkan kebakaran itu.
Memuat...
Rabu, 10 September 2014
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
0 komentar :
Posting Komentar